Rabu, 15 Juni 2011

kasih sayang menurut pandangan agama buddha




Kalau kita berkunjung ke Vihara Samaggi Jaya yang terletak di kotamadya Blitar, Jawa-Timur; kita akan menemukan berbagai macam gambar dan tanda dimana semua itu merupakan satu isyarat bahwa membangun sebuah vihara tidaklah sama dengan membangun rumah biasa, tetapi mempunyai makna lambang yang cukup berat. Gambar dan tanda yang menempel atau pun yang berada di lingkungan sebuah vihara tidak ditujukan sebagai pajangan belaka ataupun sekedar untuk menghias vihara saja. Akan tetapi semua itu mengandung arti yang cukup dalam dan merupakan satu medium yang sangat baik untuk menyampaikan ajaran-ajaran Sang Buddha.
Salah satu gambar yang dapat kita temukan di Vihara Samaggi Jaya adalah gambar burung kakaktua. Burung kakaktua ini ada 2 ekor dimana yang seekor menghadap ke selatan dan yang lainnya menghadap ke utara dengan membawa padi di paruhnya. Gambar ini sebetulnya ada ceritanya! Alkisah, tersebutlah seorang petani yang mempunyai sebidang sawah yang sangat subur. Setiap hari petani ini memperhatikan sawahnya dan melihat ada serombongan burung kakaktua yang datang dan memakan padi-padinya. Dari sekelompok burung itu; ada seekor burung kakaktua yang selain makan, juga membawa terbang bulir-bulir padinya. Peristiwa ini terjadi setiap hari dan selalu dilakukan oleh burung kakaktua tersebut, bahkan kadang-kadang burung kakaktua itu membawanya lebih dari satu. Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi sang petani sehingga dia berusaha untuk menangkapnya. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya burung kakaktua itu berhasil ditangkap. Setelah tertangkap, burung kakaktua itu ditanya oleh sang petani sebagai berikut:

P:“mengapa kalau kamu datang; selain memakan padi saya, kamu juga membawa pergi bulir-bulir padi saya? Apakah kamu mempunyai sawah ataukah kamu mempunyai lumbung padi di rumah?”
B:“Tidak! Saya tidak mempunyai sawah maupun lumbung padi di rumah. Tetapi dengan membawa bulir-bulir padi ini maka tugas saya bisa saya selesaikan dan harta saya juga bisa saya jaga. Jadi dengan membawa pergi bulir-bulir padi ini, saya memetik 2 manfaat sekaligus!”




Sang petani tidak mengerti jawaban burung tsb. Lalu dia bertanya lagi.

P:“Apa maksudnya tugas bisa diselesaikan dan harta bisa dijaga itu?”
B:“Tugas saya adalah menyantuni bapak dan ibu yang sudah tua dan tidak bisa terbang lagi. Saya membawa bulir-bulir padi itu adalah untuk saya berikan kepada bapak dan ibu saya supaya mereka tetap memperoleh kehidupan dari apa yang bisa saya dapatkan setiap hari.”
Petani mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia bertanya lagi:
P:“Kalau tugas sudah dilaksanakan, apakah artinya harta sudah dijaga itu?”
B:“Harta sudah dijaga itu maksudnya adalah bahwa di dalam hutan ini terdapat harta yang sangat berharga yaitu harta cinta-kasih. Saya membawa bulir-bulir padi itu kepada mereka yang sudah tidak bisa terbang lagi yang bukan bapak dan ibu saya, tetapi kepada sesama yang sedang sakit/membutuhkannya. Mereka yang sakit akan saya santuni supaya memperoleh kesembuhan. Mereka yang sudah tua meskipun bukan bapak dan ibu saya juga saya santuni supaya bisa mempertahankan hidupnya dan tetap memperoleh kehidupan. Inilah harta cinta-kasih yang perlu dikembangkan.”
Dari cerita tersebut diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tanda burung kakaktua tersebut, sebetulnya merupakan tanda dari pengembangan cinta-kasih, yaitu cinta-kasih kepada orangtua dan sesama. Dengan demikian ada dua hal yang harus kita kerjakan di dalam kehidupan ini. Yaitu mengembangkan cinta-kasih kepada orangtua dalam artimembalas jasa, dan mengembangkan cinta-kasih kepada sesama yang belum tentu berjasa kepada kita, tetapi kita perlu berbuat baik terlebih dahulu kepada mereka. Mengapa demikian? Karena kalau kita menanam padi maka kita akan memetik padi. Begitu juga kalau kita menanam kebajikan maka pada suatu ketika pasti kita pun akan memetik buah dari kebajikan yang telah kita tanam.
Pada bait pertama dari Karaniyametta Sutta disebutkan bahwa:
“Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan:
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tidak sombong.”
Dari syair tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan Sang Buddha menurunkan Karaniyametta Sutta itu adalah untuk membabarkan bagaimana cara memperoleh ketenangan batin/ketenangan hidup, bagaimana supaya kita bisa terbebas dari stress. Kalau kita ingin memperoleh ketenangan salah satunya adalah kita harus jujur, sungguh-sungguh jujur. Kenapa kita harus jujur? Karena orang yang jujur akan terbebas dari stress. Buktinya pada saat ujian misalnya. Kalau kita belajar dengan baik dan betul-betul menggunakan kecerdasan kita, maka kita akan mengerjakan soal-soal ujian dengan tenang. Sebaliknya kalau kita tidak jujur, mau ‘ngerepek’ atau kerjasama maka stress akan muncul. Selama kita tidak jujur, batin tidak pernah tenang. Tetapi kalau kita yakin pada diri sendiri, ketegangan tidak akan muncul. Oleh karena itu kalau kita tidak ingin stress dan ingin memperoleh ketenangan maka kita harus jujur, sungguh jujur dan seterusnya. Seperti yang tersebut dalam Karaniyametta Sutta.
Selanjutnya Karaniyametta Sutta juga menyebutkan apa yang harus kita kerjakan untuk dapat memperoleh ketenangan sebagai berikut:
“… Hendaklah ia berpikir
Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram,
Semoga semua makhluk berbahagia.”
Kalau kita ingin memperoleh ketenangan maka hendaknya kita memancarkan cinta-kasih kepada semua makhluk. Karena kalau cinta-kasih kepada semua makhluk tidak muncul, stress akan menghampiri kita. Misalnya kita tidak senang kepada semut, padahal terdapat banyak semut di ruang makan. Kalau kita tidak memancarkan cinta-kasih, tentu kita sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi; kita pasti akan membunuh semut-semut itu. Mengapa demikian? Karena kita melakukan kebencian dan tidak bisa menyayangi semua makhluk. Inilah yang dapat menimbulkan stress alias tidak tenang. Karena itulah, dalam Karaniyametta Sutta dinyatakan bahwa kalau kita ingin tidak stress maka kita harus mengembangkan cinta-kasih kepada semua makhluk.
Cinta-kasih yang bagaimanakah yang harus kita kembangkan? Dalam bait Karaniyametta Sutta selanjutnya disebutkan:
“Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran kasih-sayangnya tanpa batas.”
Tentu kita dapat membayangkan bagaimana cinta-kasih orangtua kepada anak tunggalnya. Orangtua akan sangat memperhatikan semua kebutuhan dan keinginan anaknya. Apapun yang diminta oleh Sang Anak, orangtuanya pasti akan berusaha untuk memenuhinya. Demikian pula cinta-kasih kita kepada semua makhluk. Diibaratkan seperti ibu yang menyayangi anaknya yang tunggal. Contoh paling mudah yang dapat kita temukan sehari-hari adalah ayam/kucing yang mempunyai anak. Coba kalau anaknya Saudara ambil atau ganggu, induknya pasti marah dan menyerang Saudara. Ini baru binatang, apalagi kita manusia. Seperti itulah hendaknya cinta-kasih kita kepada semua makhluk.
Dalam bait yang berikutnya disebutkan:
” Selagi berdiri atau duduk
Atau berbaring selagi tiada lelap,
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini,
Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma.”
Maksudnya adalah mereka yang bisa melatih cinta-kasih bagaikan seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya ketika sedang duduk, berjalan, berdiri, atau berbaring selagi tiada lelap; mereka itulah yang akan memperoleh ketenangan batin/pikiran. Semua ini merupakan pengembangan cinta-kasih.
Kita perlu mengembangkan cinta-kasih kepada:
1) Orangtua
Mengapa kita perlu mengembangkan cinta-kasih kepada orangtua? Karena orangtua telah melahirkan kita semua. Dan ketahuilah bahwa badan kita ini mulai dari rambut sampai ujung kaki itu sebetulnya bukan milik kita tetapi milik orangtua. Tidak ada manusia yang dapat menciptakan bagian badannya sendiri. Orangtualah yang memproses dan memproduk kita selama kurang-lebih 9 bulan sejak kita berusia 0 tahun yaitu ketika kita berada di dalam kandungan/ketika sel telur dan sperma bertemu. Kalau kita menganggap bahwa 0 tahun itu dimulai pada detik kita dilahirkan berarti kita menganggap bahwa kita ini diciptakan sehingga badan ini adalah milik kita. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Apalagi agama Buddha menggunakan teori evolusi, bukan penciptaan.
Sebagai seorang manusia yang berbudaya dan mempunyai pikiran bahkan mempunyai agama sudah selayaknyalah kita membalas jasa kepada orangtua, minimal patuh dan tidak memusingkan orangtua dengan mematuhi perintah orangtua. Kalau binatang yang dirawat dan diberi makan setiap hari menurut kapada yang memberinya makan karena naluri, lalu bagaimanakah moral/mental kita sesungguhnya kalau kita sebagai manusia tidak patuh kepada orangtua, yang telah mendidik dan merawat kita sejak kecil sampai belasan bahkan mungkin juga puluhan tahun. Hendaknya kita ingat baik-baik bahwa badan ini adalah pinjaman dari orangtua. Kita mempunyai kewajiban untuk membalas jasa orangtua karena sesungguhnya yang paling berjasa di dalam kehidupan kita adalah ayah dan ibu. Bahkan Sang Buddha sendiri menganggap bahwa ayah dan ibu itu adalah Buddha atau orang suci di rumah.
Dikatakan bahwa ada 5 perbuatan yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka yaitu:
– melukai seorang Buddha,
– membunuh seorang Arahat,
– membunuh ibu,
– membunuh ayah,
– memecah-belah Sangha.
Ke 5 hal ini mempunyai bobot yang sama. Jadi bobot ayah dan ibu adalah sama dengan Arahat/orang suci di dalam agama Buddha dan Sangha/persaudaraan para bhikkhu. Oleh karena itu, perkenankanlah Saya mengajak Saudara-saudara sekalian. Kalau Saudara masih mempunyai ayah dan/atau ibu, cobalah untuk membalas jasa kepada mereka karena hal tersebut, merupakan pengembangan cinta-kasih Saudara. Di dunia ini kita hanya mempunyai satu ayah dan satu ibu kandung, kalau mereka meninggal tidak ada yang bisa menggantikannya. Kalaupun ada, mereka bukanlah ayah dan ibu kandung yang memiliki badan Saudara. Oleh karena itu balaslah jasa ayah dan ibu Saudara sebanyak dan semampu yang bisa Saudara berikan, minimal Saudara tidak rewel, tidak nakal dan tidak menyusahkan orangtua.
2) SesamaArtinya kita tidak hanya ingat kepada mereka yang telah berjasa saja tetapi kita juga harus menjadi orang yang baik dengan cara berusaha berbuat baik kepada siapa saja. Mengapa demikian? Karena dengan berbuat baik itu berarti kita menanam jasa. Contohnya adalah orangtua kita. Orangtua kita sebetulnya belum tahu apakah kita baik atau tidak, tetapi mereka sudah menanam jasa dengan cara merawat kita dengan baik. Demikian pula kita terhadap sesama. Kita mempunyai kewajiban kepada teman baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal (lingkungan) untuk berbuat baik sebanyak mungkin. Sama halnya dengan burung kakaktua tersebut yang membawa bulir-bulir padi karena ada tugas untuk merawat ayah dan ibu dan menjaga harta cinta-kasih/persaudaraan dengan cara menanam jasa atau kebaikan kepada mereka yang berada disekitarnya.
Dua hal inilah yang sebetulnya merupakan pengembangan cinta-kasih yang terdapat di dalam Karaniyametta Sutta yang dapat membuat batin kita tenang dan tidak stress. Karena itu latihlah… jalankanlah cinta-kasih itu, minimal kepada orangtua yang telah berjasa kepada Saudara semua. Akhirnya seperti ajaran Sang Buddha bahwa menanam padi akan tumbuh padi, menanam jagung akan tumbuh jagung maka kalau kita menanam cinta-kasih/kebajikan, kita pun akan memetik kabahagiaan. Cintailah orangtua dan lingkungan Saudara, demi kebahagiaan Saudara sendiri!

ibu


Kasih Seorang Ibu

Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia memunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya.
Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu memunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahakannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya. Selain aib yang harus ditanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemoohan, karena telah melahirkan seorang bayi haram tanpa bapa.



Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love -- Kasih. Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan.
Terkadang ia harus menjahit sampai pukul 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu dan Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restoran. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya. Di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.
Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luar sangat dingin sekali, karena pada saat itu sedang musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupi. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca di luar dingin sekali, bahkan dalam keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja.
Sejak saat itu ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dalam keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.
Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya di luar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih memunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan memunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restoran. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidak diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah memunyai seorang cucu.
Ia sangat mendambakan untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya. Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja di sana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai bibi pembantu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dalam kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya di rumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo. Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pensiun yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun lampau beberapa hari sebelum Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Suhu di luar telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salju pun turun dengan lebatnya. Jangankan manusia, anjing pun pada saat ini tidak mau ke luar rumah lagi, karena di luar sangat dingin, tetapi nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dalam keadaan sakit.
Setiba di rumah putrinya dalam keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata putrinya sendiri yang membukakan pintu rumah. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"
"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luar dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi, Nak!" kata wanita tua itu. "Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucap putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis. Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihan pun tidak ada.
Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelepon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!" Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Ibu saya tidak melek komputer, bahkan beliau seorang wanita yang buta aksara, tetapi untuk Mang Ucup pribadi beliau adalah wanita yang paling hebat, di mana sampai dengan detik ini Mang Ucup masih bisa belajar dari padanya. Belajar memberikan dan membagikan kasih tanpa pamrih dan tanpa lagas. Ibunya Mang Ucup menderita sakit kanker, tetapi ia tidak pernah mengeluh. Tiap kali saya menelpon Ibu, pertanyaan standar selalu diajukan kepada saya: "Apa yang Ibu bisa bantu untukmu, Nak?" Ia tidak memohon untuk dirinya sendiri dalam doanya, yang ia utamakan selalu hanyalah kami anak-anaknya! Ia selalu mendoakan kami siang dan malam.
Maka dari itulah untuk Mang Ucup, Ibu saya adalah wanita yang tercantik sejagat raya, melebihi daripada Michael Preifer walaupun ia barusan saja terpilih oleh majalah People sebagai wanita tercantik sedunia tahun 1999. Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga.
Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dalam setahun.
Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu. Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah.
Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita? Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.
"When Mother prayed, she found sweet rest, When Mother prayed, her soul was blest; Her heart and mind on Christ were stayed, And God was there when Mother prayed!"
"Our thanks, O God, for mothers Who show, by word and deed, Commitment to Thy will and plan And Thy commandments heed."
"A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home."
Apabila Anda mengasihi Ibunda Anda sebarkanlah tulisan ini kepada rekan-rekan lainnya, agar mereka juga sadar selama Ibunda mereka masih hidup berikanlah bakti kasih Anda kepada Ibunda terkasih sebelumnya terlambat.